Kamis, 30 Januari 2014

Aku Tak Benar-Benar Kuat

Tumpukan garis dilembayung senja itulah yang membuatku sadar, “Aku tak benar-benar kuat”. Aku hanyalah gerimis yang ingin membasahi tanah di musim kemarau. Aku hanyalah embun yang bermimpi menjadi hujan. Aku hanyalah hembusan nafas yang berharap menjadi Topan. Aku hanyalah setitik air mata yang berandai menjadi banjir bandang. Begitulah aku, yang terlanjur mampu menginginkan sesuatu. Hingga lupa bahwa sesungguhnya aku tak sanggup ..

Ketika Waktu Melemparkan Sauhnya

Hanya 4 menit 38 detik, di ujung bulan Desember, sang waktu melemparkan sauhnya dan terpaut di antaragelombang elektromagnetik. Seukir senyum tolol tercipta seraya mengembalikan ingatan-ingatan lalu. Seperti ingin mempertegas bahwa aku telah terpagut dalam hisapan lumpur waktu. Oh Tuhan benarkah ini? Jika ini salah, hologramkah ia ? Tidak. Aku tahu ia nyata, yang tak nyata adalah kejelasan yang selalu suram. Aku ingin dia, dosa yang paling menakjubkan. Lalu akhirnya, ada hal-hal yang begitu nyata menyeruak dan menarik kakiku kembali menginjak tanah, setelah terlalu lama terpaksa terbang karena rayuan sang waktu. Aku kembali ke kenyataan dan mendapati diriku tengah menginginkan sang bulan yang tak kunjung bertahta. Tersadar dari dalam lamunku, aku tengah takut untuk keluar dari duniaku. Aku nyatanya masih ingin di sini, sendiri.

Selasa, 07 Januari 2014

SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI




 Dua tahun sudah, dan tak ada yang berubah sedikitpun pada perasaanku padamu. Waktu tak memakan apapun tentang kita. Aku masih sama.
 Bergiga-giga butiran huruf yang tersusun dalam kata tak pernah cukup untuk mendeskripsikan kita. Kita adalah kata tak bermakna. Kita adalah kalimat rancu. Kita adalah paragraph tak nyambung. Kita adalah kerangka karangan gagal yang terus tertahankan.
Berlembar-lembar kertas dengan coretan yang meringis di dalamnya. Seadanya dan cukup pikirku untuk membuatmu mengerti mengapa aku begini. Ku kirim padamu, lewat doa alam shubuh, kala aku tengah menangisi langit yang sama dengan langitmu. Dengan kepulan asap yang menghancurkan, ku jeritkan namamu pada tatapan waktu yang telah berlalu. Namun aku masih sakit dengan tangisku, karena kau hanya seperti pernah ada dalam genggam jangkauanku.
Aku masih meringis kala terus dipermainkan takdir denganmu. Semua yang ku lihat, ku dengar dan ku ucap tak mampu diterjemahkan oleh otakku. Semua kacau dan saling rusuh. Bisanya aku memperkirakan hadirmu dihadapanku. Bisanya aku menoleh tepat ke arahmu yang tengah mengarah padaku. Bisanya semua hal tak wajar ini mereka namakan cinta. Beraninya mereka.
Mulailah aku mencacimu dan cinta. Aku mencari bahagia bukan cinta. Tapi aku kalah. Aku telah masuk perangkap. Aku telah cinta dan  bahkan lupapun tak mampu membuatku lupa. Aku cinta. Yeaah, aku cinta.
Aku cinta dan aku sakit. Aku sakit karena aku cinta. Tapi aku masih tetap mencacimu. Sumpah serapah dan makian keluar meluncur begitu saja dariku. Maaf, tapi itulah aku yang tengah cinta. Salah pikirku jika hanya aku yang sakit dan cinta. Sedangkan kau ? Aku tak tahu apa yang kau rasa selain semua yang pernah kau ucap. Aku percaya tidak semua yang kau ucap dapat dipercaya. Vonispun jatuh untukmu hanya dari sebagian kecil yang ku tahu. Kau tak seperti diriku. Tengah sakit dan cinta.
Benci dan benci. Caci maki. Sumpah serapah. Jeritan air mata. Menghujam dada, memukul dinding, begitulah caraku mengingatmu. Sungguh ini benci. Masalahpun bertambah. Aku sakit dan cinta dan benci.
Hingga sebait doa ku panjatkan untukmu. Di ujung malam kala ku menghampiri mimpi. Di awal hari kala ku membuka mata. Selalu. Aku berharap dengan doa yang baik, perasaanku juga akan berakhir dengan baik. Kitapun menjadi baik.
Kau, berbahagialah. Bahagialah sesuai maumu. Temui cinta. Ciptakan mimpi lagi. Selalu. Ada banyak amien untukmu.
Karena aku telah menyerah dengan sakit dan cinta dan benci untukmu. Karena aku letih terus menyumpahimu. Karena aku yakin akupun bisa bahagia. Aku akan menyerah dengan semuanya, kecuali mendoakanmu …