Selasa, 10 Desember 2013

Mantan Pengurus



 Jika ada yang bertanya padaku, apa yang paling ku rindukan ketika masih menjadi pengurus, aku akan menjawabnya seperti ini.
“Semua hal begitu berarti, apapun itu, sehingga begitu merindukan jika tiba-tiba terlintas di benakku, tapi yang paling merindukan dari semua itu adalah .... sms pemberitahuan rapat hahaha”.
Tentu saja itu benar. Yaaah walaupun aneh. Apa coba yang harus dirindukan dari sms pemberitahuan rapat ?.
Ada alasannya. Ketika masih pengurus, sms pemberitahuan rapat begitu sering singgah dan bertahta di ponselku. Entah itu rapat program kerja, atau sekedar rapat pra-program kerja, atau bahkan rapat angkatan *alias sharing atau sesi curhat.
Sms itu memang tak semenakutkan ketika masih mahasiswa baru dulu. Masih jelas teringat, bagaimana dulu sms rapat menghantui kami, mahasiswa baru. Dulu, rapat berarti penggodokan. Dulu, berkumpul berarti pertemuan, pertemuan antara telapak tangan senior dan pipi mahasiswa baru. Setiap kesalahan kami – sekecil apapun itu – adalah masalah besar bagi para senior, khususnya bagi para pejabat di pemerintahan hitam kami.  Sejak itu – sejak melewati berbagai peristiwa dalam buku perjalanan hidup mahasiswa baru – sms rapat begitu menakutkan.
Untunglah semua proses itu telah terlewati. Setelah magang di pemerintahan kampus selama 2 tahun akhirnya kursi-kursi pejabat diserahkan pada kami. Tidak mudah memang melewati 2 tahun dengan menjadi Antek terlebih jurusan Arsitektur. Aku harus melalui Ospek, Buka Puasa Bersama Antek, Malam Tumbilotohe, Bakti Sosial atau Penerimaan Jurusan, LDK, Pengukuhan Anggota HMJ dan berbagai macam rapat yang harus dihadiri. Akhirnya, setelah MUBES dan dikukuhkan, kamilah yang berkuasa mengurus Himpunan dan adik-adik kami. Dan selama kurang lebih setahun – untuk urusan program kerja dan berbagai masalah yang timbul – ponselku berulang-ulang kali dihinggapi sms pemberitahuan rapat.
Kini, kami hanyalah mantan pengurus. Lega memang, karena bisa lepas dari tanggungjawab sebagai pejabat kampus. Tak perlu lagi pusing membagi waktu antara kuliah dan organisasi. Tapi, ponselku mulai aneh. Aneh karena telah kehilangan sms-sms rapat yang dulu begitu sering bertemu. Ponselku seperti telah kehilangan salah satu komponennya.
Kini, tak ada lagi sms yang berbunyi ...
                                            PEMBERITAHUAN
Besok rapat jam 1 di sekretariat untuk membahas bla bla bla
ON TIME tida pake ngaret.
SEBARKAN


So, ponselku tenanglah. Masih ada kursi Senat hahaha.

Sabtu, 07 Desember 2013

CERPEN : Tentang Lintang



Ada yang aneh darinya. Bukan karena rambut sebahu yang selalu dia kuncir satu kemanapun dia pergi. Lebih sederhana dan gak repotin, jawabnya ketika ku tanya. Bukan karena kaos hitam tua bergambar Vespa yang selalu di pakainya. Nyaman aja, kaosnya gak bikin gerah, jawabnya  ketika ku tanya. Bukan karena celana jeans yang juga sudah terlanjur tua yang selalu dipakainya. Suka aja, aku merasa jadi gembel hahaha, jawabnya ketika ku tanya. Bukan karena sepatu jeleknya. Bukan karena cara ia menjalani hidup dengan santai. Bukan karena cara bicaranya yang spontanitas. Bukan karena semua itu. Bagiku tetap saja ada yang aneh darinya.
***
Namanya Lintang. Aku bertemu dengannya saat pertama kali menginjak bangku kuliah. Lintang kebetulan adalah teman sekelasku hingga kini. Aku masih ingat kalimat pertama yang Lintang ucapkan saat melihatku tengah mencatat di kelas.
“Wow... kamu Kidal ya... ih keren banget deh, pokoknya mega giga tera keren deh, aku sampai sekarang masih terobsesi pengen jadi kidal, tapi gak pernah berhasil, ah beruntungnya aku bisa ketemu orang-orang kidal seperti kamu, mulai sekarang sahabatan yuk”
Lintang memang berbeda, atau aneh. Aku tak pernah mengerti dengannya. Tapi anehnya sejak saat itu kami memang mulai sahabatan.
Semakin lama aku semakin mengaguminya. Lintang begitu apa adanya. Dia punya jutaan uang di rekening, tapi hanya membeli satu kaos dan satu jeans dalam 3-4 bulan sekali. Dia punya jutaan uang di dompet tapi makan dipinggiran jalan dengan alasan lebih enak dan lebih murah. Dia lahir dari keluarga kaya tapi liburan hanya ke pantai atau tempat wisata yang gratis. Aku tak mengerti mengapa dia memilih kehidupan yang ekstrim seperti itu.
“Lintang, kaos udah tua gitu kok masih di pake...”
“Lintang, kok kamu lebih suka makan dipinggir jalan sih...”
“Lintang, kamu kan punya uang, banyak lagi, kenapa gak beli jeans yang baru, kamu gak kasian sama jeans kamu satu-satunya itu, udah tua pantas dibuang...”
Tapi dialah Lintang. Manusia yang kesederhanaannya sangat ekstrim. Berulang kali ku ajak dia ke Mall, ke Toko Pakaian, ke Distro, ke Boutiq atau sekedar mengintip Online Shop, agar kaos Vespa tuanya dan satu-satunya jeans kepunyaan itu bisa hilang dari pandanganku. Begitu pula dengan sepatu jelek dan ransel kumal miliknya. Ku bayangkan suatu hari kami tengah makan di salah satu Caffe mewah langgananku. Lintang memakai kaos keren harga selangit dan hanya ada satu di dunia ini. Lintang memakai jeans mahal dengan model terbaru saat ini. Semua yang dipakai Lintang adalah hal-hal yang mentereng.
Tapi semua itu hanya sebatas cakrawala bayanganku saja. Karena dia adalah Lintang. Punya beribu alasan untuk menolak hal-hal mentereng itu. Sakit perutlah, keseleolah, gak punya waktu belanjalah dan masih banyak lagi alasan yang membuatku kesal.
Lalu suatu hari aku menyerah. Aku merasa tak sanggup lagi berteman dengan orang seperti dia. Kami berbeda dalam banyak hal. Bagiku, kaos vespa tuanya tak pantas seiring dengan kaos-kaosku yang bermerek luar negeri, jeans lunturnya tak pantas sejalan dengan jeansku model terkini dengan harga menjulang. Apapun yang menempel di tubuh Lintang, barang-barang yang tak jelas asal-usulnya sangat tak bisa ditoleransi lagi jika harus berdekatan dengan semua barang-barang mewah yang menempel di tubuhku. Ku putuskan menyerah dalam pertemanan ini. Dia, Lintang, bukan lagi seseorang untukku.
Aku bermaksud menjauhinya sejak saat itu. Aku telah bertekad tak akan lagi menegurnya jika berpapasan. Senyumku untuknya telah berhenti. Tapi takdir berkata lain. Sebelum aku menjauh dari kehidupannya, Lintang telah lebih dulu menghilang dari kehidupanku.
Aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Hampir semua orang menanyakan keberadaan Lintang padaku. Sudah tiga hari dia hilang tanpa jejak. Tak ada yang tahu. Akupun tak tahu harus bertanya pada siapa tentang Lintang.
Aku memang berteman dengannya selama hampir enam bulan ini. Kami makan, jalan dan nongkrong bersama di tempat yang sangat tidak mungkin aku datangi jika bukan karena Lintang. Kami tertawa, menangis, senyum dan marah di situasi yang sangat tidak mungkin aku lakukan jika bukan karena Lintang. Tapi itu hanya sebatas kedekatan yang bisa Lintang berikan. Aku tak tahu apapun tentang keluarganya selain dia lahir dari keluarga kaya. Tak pernah dia memberitahu tentang siapa kakak atau adiknya, siapa tante atau omnya. Lintang jarang bicara tentang keluarganya. Lintang hanyalah Lintang. Hanya Lintang seorang.
Kamu dimana Lintang, jeritku pada langit malam. Aku merasa merindukan teman anehku itu. Rindu yang begitu menggebu dan membiru. Lima hari tanpa Lintang begitu lain. Tak ada lagi sosok yang membuatku tertawa dengan cerita lucunya meskipun tengah mengikuti kuliah dari dosen menakutkan. Tak ada lagi sosok yang bisa ku lihat terharu sampai meneteskan air mata hanya karena menikmati sunset dengan sepenuh hati. Tak ada lagi sosok yang menatapku penuh kekaguman saat aku tengah mencatat dengan tangan kiriku. Tak ada lagi sosok yang suka menutup mataku dari belakang, mencubit pipiku sampai aku keluar air mata, menyembunyikan handphoneku, dan semua hal-hal kecil lainnya.
Seharusnya aku yang menjauhimu Lintang, karena aku tak akan selemah ini jika aku yang pertama pergi, tapi kamu malah menghilang lebih dulu tanpa alasan, dan aku telah selemah ini, sebenarnya aku tahu sejak dulu kalau kamulah kekuatanku, kembali Lintang, aku masih harus pergi meninggalkanmu, agar bisa ku lihat bagaimana keadaanmu tanpa aku, karena mungkin saja kau juga akan selemah ini
***
Aku bergegas ke Rumah Sakit. Barusan Lintang menelfonku dan menyuruhku menemuinya. Aku gak punya banyak waktu, bergegaslah, ucapnya lirih. Pandanganku kabur. Beberapa kali ku tabrak orang di depanku. Entah ada berapa tetes air mata yang menghalangi pandanganku. Yang pasti, tangisku pecah kala melihat Lintang terbaring lemah di ranjang. Tangan kanannya dipasangi selang infus. Ketika melihatku, dia berusaha tersenyum. Senyum yang sangat kontras dengan wajah pucatnya.
Lintang mengisyaratkan agar aku mendekatinya. Aku melangkah dengan sangat pelan sambil menghapus tetes-tetes air mata yang tak mau berhenti sejak tadi. bibirku bergetar seperti tengah mengucapkan sesuatu. Kalau saja Lintang bisa mendengarnya. Lintang, kamu kenapa, ucapku. Tapi bahkan aku sendiri tak mampu tuk mendengarnya. Karena yang terdengar hanyalah isakan tangis. Di tangan kiri Lintang, tangan yang selalu ku kagumi, tengah memegang kaus Vespa tuanya. Saat aku mulai mendekat, Lintang menjulurkan kaos itu padaku. Pake ini saat kamu wisuda nanti ya, ucap Lintang. Lalu beberapa detik kemudian Lintang memejamkan matanya.
Kaos Vespa tua itu ku genggam erat. Untuk pertama kalinya aku tak bisa membenci barang itu. Tua, lusuh, kusam, dekil, dan usang sangat tak pantas berada  sangat dekat dengan pakaian bermerek. Tapi aku tak pernah peduli lagi. Karena barang jelek itu adalah tempat jatuhnya semua air mataku kala itu. Benda jelek itu satu-satunya yang ku miliki untuk mewakili semua hal tentang Lintang.
***
2 tahun kemudian ...
Semua mahasiswa yang di wisuda tengah berbahagia. Dengan balutan jas atau kebaya, sepatu mengkilat atau high heels, masing-masing tengah berkerumun dengan teman atau keluarganya.
Aku berbeda. Sesaat aku merasa ada yang aneh tentang diriku. Sendirian duduk sambil sesekali tersenyum pada orang-orang yang lewat di depanku. Orang tuaku yang di luar negeri tak tahu aku di wisuda hari ini. Aku sengaja mempercepat kuliahku, yang seharusnya enam semester, ku jadikan lima semester. Bukan karena sok pintar atau sok rajin. Hanya saja aku tak sabar mengenakan benda jelek dari Lintang.
Aku tak mau berfoto dengan mengenakan toga dan segala tetek bengeknya. Setelah acara wisuda, aku bergegas ke kamar mandi, mengganti semua hal tentangku dengan semua hal tentang Lintang. Sepatu jelek, jeans luntur, kaos Vespa tua warisan Lintang adalah sisi diriku yang lain. Benar kata Lintang, semua hal tentangnya begitu nyaman dikenakan. Ah Lintang seharusnya kamu ada di sini, batinku.
Tanpa sadar, sebuah sosok mendekatiku. Sosok yang pernah membuatku rindu. Sosok yang membuatku cengeng karena menyangka dia tengah sakit keras, padahal hanya menderita diare. Sosok yang membuatku mengira dia meninggal di depanku dengan tenang, padahal dia hanya mengantuk lau tertidur. Sosok yang membuatku tak bisa membencinya bahkan dengan segala hal yang ditimbulkannya.
Di sana, tengah berjalan menghampiriku, dengan kaos Vespa yang mulai usang, jeans yang modelnya hampir punah, semua kejelekan yang dulu begitu ku benci, sosok Lintang tersenyum bangga. Tentu saja, Lintang pasti tengah berbahagia, karena telah berhasil merusak semua kemewahan yang ku persiapkan untuk acara wisudaku dan wisudanya. Semua hancur tapi begitu membahagiakan. Semua hal tentangku tak lagi terlihat. Aku dan Lintang adalah semua hal tentang Lintang.
Ketika Lintang berada di depanku, aku memberanikan diri untuk mengatakan satu hal padanya. Satu hal yang ku karang selama empat hari empat malam tanpa menyerah. Dengan secarik kertas, berbait-bait kalimat ku ucapkan perlahan ...
“Ini bukan tentang aku, dan ini bukan lagi tentang kamu Lintang, tapi ini tentang kita, aku tak mau yang lain, yang ku mau hanya satu hal, satu hal yang mewakili semua tentang kita, aku hanya butuh Lintang, dan Lintang hanya boleh butuh aku...”
“Lintang, marry me ...”
Lintang memerah. Banyak orang tengah menatap kami. Lalu sebutir air mata melompat dari sudut matanya sebelah kiri. Lalu sebelah kanan. Dua butir, tiga butir air mata mengarahkan Lintang untuk mengangguk. Segera, tanpa sempat ku sadari, Lintang menghambur dalam pelukku. Butiran ait matanya jatuh membasahi kaos Vespa yang di wariskannya padaku.
Lintang, berjanjilah ini adalah terakhir kali kau meneteskan air mata di hadapanku, karena aku telah berjanji untuk tak membuatku menangis, berjanjilah jika kau ingin menangis kau hanya akan menangis bersamaku, kita akan menangis bersama, menangisi sunset yang menghilang di langit malam ...

My Precious Bhoots dan Sudut-Sudut Itu



Sudut-sudut itu masih ada ... Tak bergerak atau berpindah ... Tak bergeming dan tak bersuara ... Hanya saja kini `dia` tak berpenghuni ...

Hanya kita ,, `kau dan aku` yang kini berada di jalan yang berbeda ,, yang dulu selalu memberi warna baru pada sudut-sudut itu ... Aku ingat ,, masih teramat sangat jelas mengingatnya ,, bagaimana kita berawal dan berjalan bersama ... Semenit tanpamu `pada saat itu` adalah semenit yang paling menyiksa dalam hidupku ... Dan ketika penyiksaan itu berbuah manis ,, ketika kau hadir dan kita ,, `kau dan aku`pun  berteduh dalam kebahagiaan `pada saat itu` ...

Kita ,, `kau dan aku` adalah anugerah terindah yang pernah ku miliki ... Sebelumnya tak pernah ada orang yang lebih penting bagiku di dunia ini selain aku ... Kita ,, `kau dan aku` adalah senyuman dan tawa kebahagiaan yang dirasakan sudut-sudut itu ...

Kini ,, sudut-sudut itu selalu menusuk dan mendesakku tentang dirimu ... `Dia` sudut-sudut itu ,, bahkan memutar kembali kisah kita ,, `kau dan aku` saat aku menghuninya dalam kesendirian ... “ Mana ... ? Dimana dia ... ?. Aku menjerit dalam diam ... Perasaanku sakit ... Aku bahkan tak tahu dimana dirinya sejak aku pergi dan beranjak dari perasaannya ... Lalu bagaimana mungkin aku bisa menjawab pertanyaan seperti itu ... Aku mengepalkan tanganku ... Kemudian menghantamnya ke dadaku ... Berulang-ulang sampai aku aku merasa ,, sakit yang di dalam hatiku bisa seimbang dengan sakit karena hantamanku ...

Aku beranjak ... Aku tak tahan dengan rasa sakit yang ditimbulkan oleh pertanyaan dan kenangan itu ... Aku mencari sudut-sudut lain ... Sudut-sudut yang mungkin hanya akan diam ketika aku berteduh di dalamnya ... Sudut-sudut yang mungkin akan memberiku sedikit kekuatan untuk bertahan ... Namun semua sudut-sudut kita ,, `kau dan aku` seakan ingin membunuhku ... Dia ,, sudut-sudut itu ,, telah mengambil kewarasanku ,, dia mengambil kenormalanku ,, dia bahkan menyediakan rasa sakit ,, pedih dan perih dalam menu khusus yang hanya bisa dinikmati olehku saja ...

Aku sadar ,, ini adalah fase-fase sulit yang harus ku lalui ... Rasa sakit ,, pedih dan perih adalah bukti bahwa dirinya pernah menjadi seseorang yang sangat berharga untuk perasaanku ... Dan semua harus tetap terjadi ... Aku tersenyum padahal sedang menahan kesakitan ... Aku tertawa padahal sedang menahan air mata kepedihan ... Aku berjalan melangkah padahal aku tetap diam pada perasaanku ... Aku pergi padahal aku sama sekali belum meninggalkan perasaanku ... Aku berdiam padahal begitu sangat memperdulikanmu ... Aku menyibukkan diri padahal sedang sangat merindukanmu ...

Seperti itulah diriku ,, saat memutuskan untuk lari dari dekapanmu dan berjalan di jalan lain selain jalan yang kita ,, `kau dan aku` buat ...

Dan kini ,, aku dan sudut-sudut itu adalah seluruh rasa sakit ,, pedih dan perih yang telah kita ,, `kau dan aku` timbulkan ...



Maret 2012
Ketika aku putuskan untuk meninggalkanmu ...

Aku Sayang Kamu, TAHEDE #Part 4



**Hmm malam lagi. Di kamar lagi. Sendiri lagi. Memikirkanmu lagi. Entah sudah berapa malam yang  aku lewati hanya dengan keadaan seperti ini. Tak pernah ada sirkulasi lagi dalam malam-malamku setelah tanpamu.
*Aku memutar kembali alur cerita kecil kita dalam folder tersembunyi itu. Dengan rokok di tangan, sekaleng soft drink dan beberapa snack yang baru saja ku beli. Aku duduk manis di depan joybook ini dan menikmati fase-fase gelap itu.
Beberapa hari setelah penerimaaan cecunguk-cecunguk baru itu di kerajaan Hitam kita, kau dan aku kembali dipertemukan oleh takdir melalui kebetulan lagi. Ku harap kau masih ingat tempat itu, saat itu dan apa yang ku lakukan saat itu. Aku yang tengah sendiri membaca novel di salah satu bangku kampus. Kau ada di sana. Seperti sedang menunggu seseorang jauh di depan aku berada. Kemudian kebetulan itu memalingkan konsentrasiku dari novel yang ku baca ke arah kau berada. Aku mengenalmu. Senyuman yang membuatku candu. Hingga sekali lagi kebetulan menggerakkan lidahku meneriakkan namamu. Dan kejadian setelah itu bagai telah tersusun rapi dalam buku perjalanan hidup kita. Dua orang yang seharusnya tak pernah bertemu malah bertemu lagi.
Akhirnya kebetulan itu mengantarkan kita pada perbincangan yang biasa dan wajar. Namun dengan kebetulan perbincangan kita makin menarik dan membuatku berpaling dari novel yang tengah ku baca. Kita bercanda, saling menabrakkan pendapat, berdebat dan kemudian sama-sama tertawa. Dan sekali lagi kebetulan itu membuatku jatuh pada lubang rasa yang seharusnya tak harus aku rasakan, atau kalau bisa dapat terkendalikan olehku. Saat kau meminjam korek pada orang-orang yang duduk di bangku kampus itu. Saat kau berjalan lewat di belakangku. Dan ketika kebetulan itu menarik jemarimu untuk mencubit kecil pipiku. Ketika itu senyuman yang membuatku candu dan cubitan kecil yang membuatku jatuh hati adalah kau.
Kebetulan. Aku selalu menyangka kita bertemu dan bicara adalah suatu kebetulan yang di buat takdir sesuai apa yang tertera pada buku perjalanan hidup kita. Kebetulan. Aku selalu menyangka kita adalah salah satu korban dari kebetulan yang seharusnya tak mesti terjadi. Tapi apakah kebetulan juga ketika akhirnya kita saling bertukaran nomor ponsel. Apakah kebetulan juga ketika selanjutnya kita saling mengirimkan pesan singkat dan bertemu. Apakah kebetulan juga aku menjadi melunak dan kita saling berbagi malam. Apakah kebetulan juga ketika aku melanggar semua etika yang aku pegang selama ini demi kau, candu hatiku.
Aku Sayang Kamu TAHEDE. Aku tahu Aku Sayang Kamu TAHEDE sejak semua urutan kejadian itu tergores dalam sejarah hitam kita. Semua kebetulan itulah yang membuat Aku Sayang Kamu TAHEDE. Meski aku telah melakukan semua cara untuk mengingkari bahwa Aku Sayang Kamu TAHEDE. Aku telah berusaha menjauh dan pulang ke rumah. Aku tak pergi ke kampus agar tak ada kebetulan lagi yang bisa mempertemukan kita. Aku bahkan memberimu dunia orang lain untuk kau masuki. Aku telah mempermainkan takdir agar semua candu hati ini enyah. Namun aku gagal. Takdir telah lebih dulu menarikkku dalam arena semu kita. Takdir telah mengerahkan kebetulan untuk membuat kita tak bisa saling melihat dan bicara lagi.
TAHEDE. Aku menyayangimu. Tapi kebetulan - kebetulan yang mempertemukan kita kini menciptakan jurang untuk kita. Tak lagi ku jumpai kau di kampus. Nomormu tak lagi bisa ku hubungi. Aku putus asa dan mulai gila mencarimu. Canduku mulai bereaksi dengan cepat. Namun aku hanyalah sebuah bidak kecil yang tengah dipermainkan oleh kebetulan dan sedang di tertawai oleh takdir. Dan aku kembali pada siklus hidup yang lama tanpa candu. Tetap ke kampus, mengikuti kuliah yang tidak menarik, berjalan sendiri dengan dunia khayalan, menikmati semilir angin dan tertawa bersama orang-orang yang hidup di kerajaan Hitam kita. Sesekali kita masih bertemu. Namun canduku telah ku simpan rapi dalam-dalam. Sesekali kita bicara. Namun tak bisa kau rasakan canduku lagi. Hingga kita sampai di suatu ketika yang merupakan puncak dari sekeping kisah kita ini. Kita, kau dan aku, untuk jangka waktu yang lama, entah untuk berapa bulan, benar-benar tak bertemu lagi.
TAHEDE. Tak ada yang tahu bagaimana aku begitu tampak baik-baik saja padahal tengah mencandukanmu. Aku pun tak tahu. Aku hanya terus-terusan menyibukkan diri agar tak ada waktu untuk mencandukanmu. Aku, kebetulan dan takdir semakin bermasalah. Sampai aku menyerah dan mulai berusaha dengan giat untuk melenyapkan candu ini. Berulang-ulang aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kita tak pernah bertemu, dan bukankah memang seharusnya begitu. Hingga setiap keping-keping waktu yang beranjak tak lagi mampu membuatku candu.
Aku Sayang Kamu TAHEDE. Masih saja. Meski dengan semua usaha kerasku. Dengan semua doaku. Dengan semua kesibukanku. TAHEDE ... Aku Sayang Kamu.



Aku Sayang Kamu, TAHEDE #Part 3



Sekali lagi aku hanya bisa berlindung dalam gelapku. Dalam malam di saat mereka yang lain nyenyak dalam lelapnya. Pertama aku tak mengerti apa yang membuatku tak bisa tidur meski aku telah menguap berulang kali. Kemudian akhirnya aku mulai paham ketika file-file yang tersembunyi dalam benakku terbuka dengan perlahan. Di dalam file-file tersembunyi itu ada sebuah folder yang tersembunyi. Di folder yang tersembunyi itu ada sebuah cerita kecil yang masih tertata rapi meski tersembunyi.
          Perlahan cerita kecil itu bercerita tentang dua orang yang seharusnya tak pernah bertemu dengan semua kebetulan-kebetulan itu. Cerita kecil yang menyimpan penyakit akut besar yang tersembunyi. Namun tetap saja aku terus menikmati cerita kecil itu bercerita.
          Entah berapa bulan yang lalu. Saat itu aku terjebak dalam kesibukan penerimaaan Mahasiswa Baru. Saat itu aku yakin kau pun terjebak di hal yang sama. Karena tanpa hal yang sama itu kita tidak akan bertemu dengan kebetulan. Kebetulanlah yang menarik kita di saat-saat itu. Saat aku sedang mengecat bambu. Saat kau sedang memegang kamera yang tergantung di lehermu. Saat aku bermain-main dengan cat hitam di jemariku. Saat kau mengarahkan lensa kamera ke arahku. Saat aku sedang tersenyum dengan hasil pengecatanku. Saat kau mengambil potretku tanpa ku sadari. Saat aku kesal mengetahui kau mengambil potretku. Saat kau terkejut aku begitu kesal pada hasil potretmu. Saat aku mendekatimu dengan sikap jutekku. Saat kau meyakinkanku akan menghapus hasil potretmu. Saat aku puas melihat potretku kau hapus. Saat kau kemudian tersenyum. Saat itulah dengan secara kebetulan aku mulai memperhatikanmu.
          Entah beberapa hari kemudian. Kita dengan kesibukan luar biasa kita. Dengan celana dan kaos bahkan kemeja hitam, kita menatap wajah-wajah polos dan lugu itu dengan kesal. Aku mencarimu. Seukir senyum yang membuatku candu. Di antara puluhan orang-orang yang melintas di depanku. Di antara warna hitam yang membuana di penglihatanku. Aku mencarimu. Di sudut ini. Di sudut itu. Di antara para penguasa tahta kerajaan hitam kita. Di antara para cecunguk-cecunguk hitam yang bercanda. Rupanya kau di sana. Duduk di anak tangga sambil melihat-lihat hasil potretmu. Aku melihatmu, dan anehnya itu cukup bagiku.
          Entah beberapa lama kemudian. Kita bertemu di saat perut kita kosong dan kita begitu terlihat sangat lelah. Kita makan di tempat yang sama, meskipun berada dalam kejauhan. Dan sebuah kebetulan itu terjadi. Kebetulan yang seharusnya tak pernah terjadi. Kebetulan yang membuatku semakin hafal wajah dan senyummu. Kebetulan yang membawa kita pada saat-saat itu. Saat dimana kau beranjak lebih dulu dari tempat kita makan. Saat dimana aku memandangmu pergi melintas di depanku. Saat dimana kau mulai memijakkan langkahmu pada anak-anak tangga. Saat dimana aku tak sengaja melihat scraftmu tertinggal tepat di sampingku. Saat kau tak menyadari telah kehilangan. Saat aku mulai digoncang oleh keraguan. Saat kau tetap pada ketidaktahuanmu. Saat aku melipat scraft itu dan menyimpannya ke dalam tasku. Saat kau mulai sibuk dengan bidikan kameramu. Saat aku pergi bersembunyi di ujung sebuah kelas. Saat kau masuk ke dalam kelas itu. Saat aku terkejut dan tak sempat menyembunyikan rokok di tanganku. Saat kau memandangku dengan kaget. Saat aku tak mampu bersuara. Saat kau tak tahu mau bicara apa. Saat itu aku terpikirkan tentang sraftmu. Saat kau akan berbalik pergi. Saat itulah ku hentikanmu dan mengembalikan scraftmu walau sebenarnya ada sebagian dari diriku yang tak ingin melakukannya. Saat kau tersenyum melihat scraftmu itu. Saat itulah aku benar-benar semakin candu akan senyummu. Saat kau menanyakan namaku. Dan saat kita saling melihat kartu panitia untuk mencari nama kita. Saat itu kau pergi. Saat itu aku tetap pada tempatku. Namun pada saat itu aku tersenyum dan bahagia.
          Kita. Kita. Dan kita. Aku menyebut Kau-dan-Aku adalah kita. Seakan sejak kebetulan-kebetulan itu terjadi, aku telah punya firasat kita akan pernah bersama suatu ketika nanti. Alur cerita kecil yang menarik. Dua orang yang seharusnya tak pernah bertemu malah pernah bersama. Dua orang yang seharusnya tak pernah bertemu malah semakin dekat. Dua orang yang seharusnya tak pernah bertemu malah akan sering bertemu nantinya. Dua orang yang seharusnya tak pernah bertemu itu adalah kita. Kau-Dan-Aku.
          Dan sekarang setelah semua kebetulan-kebetulan itu dan saat-saat itu. Setelah semua hal yang seharusnya tak pernah terjadi malah terjadi. Setelah aku jatuh dan melibatkan rasa. Setelah aku percaya pada perasaanku. Aku sadar akan satu hal. AKU SAYANG KAMU TAHEDE ...