Ada yang aneh
darinya. Bukan karena rambut sebahu yang selalu dia kuncir satu kemanapun dia
pergi. Lebih sederhana dan gak repotin, jawabnya ketika ku tanya. Bukan karena
kaos hitam tua bergambar Vespa yang selalu di pakainya. Nyaman aja, kaosnya gak
bikin gerah, jawabnya ketika ku tanya.
Bukan karena celana jeans yang juga sudah terlanjur tua yang selalu dipakainya.
Suka aja, aku merasa jadi gembel hahaha, jawabnya ketika ku tanya. Bukan karena
sepatu jeleknya. Bukan karena cara ia menjalani hidup dengan santai. Bukan
karena cara bicaranya yang spontanitas. Bukan karena semua itu. Bagiku tetap
saja ada yang aneh darinya.
***
Namanya Lintang.
Aku bertemu dengannya saat pertama kali menginjak bangku kuliah. Lintang
kebetulan adalah teman sekelasku hingga kini. Aku masih ingat kalimat pertama
yang Lintang ucapkan saat melihatku tengah mencatat di kelas.
“Wow... kamu Kidal
ya... ih keren banget deh, pokoknya mega giga tera keren deh, aku sampai
sekarang masih terobsesi pengen jadi kidal, tapi gak pernah berhasil, ah
beruntungnya aku bisa ketemu orang-orang kidal seperti kamu, mulai sekarang
sahabatan yuk”
Lintang memang
berbeda, atau aneh. Aku tak pernah mengerti dengannya. Tapi anehnya sejak saat
itu kami memang mulai sahabatan.
Semakin lama aku
semakin mengaguminya. Lintang begitu apa adanya. Dia punya jutaan uang di
rekening, tapi hanya membeli satu kaos dan satu jeans dalam 3-4 bulan sekali.
Dia punya jutaan uang di dompet tapi makan dipinggiran jalan dengan alasan
lebih enak dan lebih murah. Dia lahir dari keluarga kaya tapi liburan hanya ke
pantai atau tempat wisata yang gratis. Aku tak mengerti mengapa dia memilih
kehidupan yang ekstrim seperti itu.
“Lintang, kaos udah
tua gitu kok masih di pake...”
“Lintang, kok kamu
lebih suka makan dipinggir jalan sih...”
“Lintang, kamu kan
punya uang, banyak lagi, kenapa gak beli jeans yang baru, kamu gak kasian sama
jeans kamu satu-satunya itu, udah tua pantas dibuang...”
Tapi dialah
Lintang. Manusia yang kesederhanaannya sangat ekstrim. Berulang kali ku ajak
dia ke Mall, ke Toko Pakaian, ke Distro, ke Boutiq atau sekedar mengintip
Online Shop, agar kaos Vespa tuanya dan satu-satunya jeans kepunyaan itu bisa
hilang dari pandanganku. Begitu pula dengan sepatu jelek dan ransel kumal
miliknya. Ku bayangkan suatu hari kami tengah makan di salah satu Caffe mewah
langgananku. Lintang memakai kaos keren harga selangit dan hanya ada satu di
dunia ini. Lintang memakai jeans mahal dengan model terbaru saat ini. Semua
yang dipakai Lintang adalah hal-hal yang mentereng.
Tapi semua itu
hanya sebatas cakrawala bayanganku saja. Karena dia adalah Lintang. Punya
beribu alasan untuk menolak hal-hal mentereng itu. Sakit perutlah, keseleolah,
gak punya waktu belanjalah dan masih banyak lagi alasan yang membuatku kesal.
Lalu suatu hari aku
menyerah. Aku merasa tak sanggup lagi berteman dengan orang seperti dia. Kami
berbeda dalam banyak hal. Bagiku, kaos vespa tuanya tak pantas seiring dengan
kaos-kaosku yang bermerek luar negeri, jeans lunturnya tak pantas sejalan
dengan jeansku model terkini dengan harga menjulang. Apapun yang menempel di
tubuh Lintang, barang-barang yang tak jelas asal-usulnya sangat tak bisa
ditoleransi lagi jika harus berdekatan dengan semua barang-barang mewah yang
menempel di tubuhku. Ku putuskan menyerah dalam pertemanan ini. Dia, Lintang,
bukan lagi seseorang untukku.
Aku bermaksud
menjauhinya sejak saat itu. Aku telah bertekad tak akan lagi menegurnya jika
berpapasan. Senyumku untuknya telah berhenti. Tapi takdir berkata lain. Sebelum
aku menjauh dari kehidupannya, Lintang telah lebih dulu menghilang dari
kehidupanku.
Aku tak pernah
bertemu dengannya lagi. Hampir semua orang menanyakan keberadaan Lintang
padaku. Sudah tiga hari dia hilang tanpa jejak. Tak ada yang tahu. Akupun tak
tahu harus bertanya pada siapa tentang Lintang.
Aku memang berteman
dengannya selama hampir enam bulan ini. Kami makan, jalan dan nongkrong bersama
di tempat yang sangat tidak mungkin aku datangi jika bukan karena Lintang. Kami
tertawa, menangis, senyum dan marah di situasi yang sangat tidak mungkin aku
lakukan jika bukan karena Lintang. Tapi itu hanya sebatas kedekatan yang bisa
Lintang berikan. Aku tak tahu apapun tentang keluarganya selain dia lahir dari
keluarga kaya. Tak pernah dia memberitahu tentang siapa kakak atau adiknya,
siapa tante atau omnya. Lintang jarang bicara tentang keluarganya. Lintang
hanyalah Lintang. Hanya Lintang seorang.
Kamu dimana
Lintang, jeritku pada langit malam. Aku merasa merindukan teman anehku itu.
Rindu yang begitu menggebu dan membiru. Lima hari tanpa Lintang begitu lain.
Tak ada lagi sosok yang membuatku tertawa dengan cerita lucunya meskipun tengah
mengikuti kuliah dari dosen menakutkan. Tak ada lagi sosok yang bisa ku lihat
terharu sampai meneteskan air mata hanya karena menikmati sunset dengan sepenuh
hati. Tak ada lagi sosok yang menatapku penuh kekaguman saat aku tengah
mencatat dengan tangan kiriku. Tak ada lagi sosok yang suka menutup mataku dari
belakang, mencubit pipiku sampai aku keluar air mata, menyembunyikan handphoneku,
dan semua hal-hal kecil lainnya.
Seharusnya aku yang menjauhimu Lintang, karena aku tak
akan selemah ini jika aku yang pertama pergi, tapi kamu malah menghilang lebih
dulu tanpa alasan, dan aku telah selemah ini, sebenarnya aku tahu sejak dulu
kalau kamulah kekuatanku, kembali Lintang, aku masih harus pergi
meninggalkanmu, agar bisa ku lihat bagaimana keadaanmu tanpa aku, karena
mungkin saja kau juga akan selemah ini
***
Aku bergegas ke
Rumah Sakit. Barusan Lintang menelfonku dan menyuruhku menemuinya. Aku gak
punya banyak waktu, bergegaslah, ucapnya lirih. Pandanganku kabur. Beberapa
kali ku tabrak orang di depanku. Entah ada berapa tetes air mata yang menghalangi
pandanganku. Yang pasti, tangisku pecah kala melihat Lintang terbaring lemah di
ranjang. Tangan kanannya dipasangi selang infus. Ketika melihatku, dia berusaha
tersenyum. Senyum yang sangat kontras dengan wajah pucatnya.
Lintang
mengisyaratkan agar aku mendekatinya. Aku melangkah dengan sangat pelan sambil
menghapus tetes-tetes air mata yang tak mau berhenti sejak tadi. bibirku
bergetar seperti tengah mengucapkan sesuatu. Kalau saja Lintang bisa
mendengarnya. Lintang, kamu kenapa, ucapku. Tapi bahkan aku sendiri tak mampu
tuk mendengarnya. Karena yang terdengar hanyalah isakan tangis. Di tangan kiri
Lintang, tangan yang selalu ku kagumi, tengah memegang kaus Vespa tuanya. Saat
aku mulai mendekat, Lintang menjulurkan kaos itu padaku. Pake ini saat kamu
wisuda nanti ya, ucap Lintang. Lalu beberapa detik kemudian Lintang memejamkan
matanya.
Kaos Vespa tua itu
ku genggam erat. Untuk pertama kalinya aku tak bisa membenci barang itu. Tua,
lusuh, kusam, dekil, dan usang sangat tak pantas berada sangat dekat dengan pakaian bermerek. Tapi
aku tak pernah peduli lagi. Karena barang jelek itu adalah tempat jatuhnya
semua air mataku kala itu. Benda jelek itu satu-satunya yang ku miliki untuk
mewakili semua hal tentang Lintang.
***
2 tahun kemudian
...
Semua mahasiswa
yang di wisuda tengah berbahagia. Dengan balutan jas atau kebaya, sepatu
mengkilat atau high heels, masing-masing tengah berkerumun dengan teman atau
keluarganya.
Aku berbeda. Sesaat
aku merasa ada yang aneh tentang diriku. Sendirian duduk sambil sesekali
tersenyum pada orang-orang yang lewat di depanku. Orang tuaku yang di luar
negeri tak tahu aku di wisuda hari ini. Aku sengaja mempercepat kuliahku, yang
seharusnya enam semester, ku jadikan lima semester. Bukan karena sok pintar
atau sok rajin. Hanya saja aku tak sabar mengenakan benda jelek dari Lintang.
Aku tak mau berfoto
dengan mengenakan toga dan segala tetek bengeknya. Setelah acara wisuda, aku
bergegas ke kamar mandi, mengganti semua hal tentangku dengan semua hal tentang
Lintang. Sepatu jelek, jeans luntur, kaos Vespa tua warisan Lintang adalah sisi
diriku yang lain. Benar kata Lintang, semua hal tentangnya begitu nyaman
dikenakan. Ah Lintang seharusnya kamu ada di sini, batinku.
Tanpa sadar, sebuah
sosok mendekatiku. Sosok yang pernah membuatku rindu. Sosok yang membuatku
cengeng karena menyangka dia tengah sakit keras, padahal hanya menderita diare.
Sosok yang membuatku mengira dia meninggal di depanku dengan tenang, padahal
dia hanya mengantuk lau tertidur. Sosok yang membuatku tak bisa membencinya
bahkan dengan segala hal yang ditimbulkannya.
Di sana, tengah
berjalan menghampiriku, dengan kaos Vespa yang mulai usang, jeans yang modelnya
hampir punah, semua kejelekan yang dulu begitu ku benci, sosok Lintang
tersenyum bangga. Tentu saja, Lintang pasti tengah berbahagia, karena telah
berhasil merusak semua kemewahan yang ku persiapkan untuk acara wisudaku dan
wisudanya. Semua hancur tapi begitu membahagiakan. Semua hal tentangku tak lagi
terlihat. Aku dan Lintang adalah semua hal tentang Lintang.
Ketika Lintang
berada di depanku, aku memberanikan diri untuk mengatakan satu hal padanya.
Satu hal yang ku karang selama empat hari empat malam tanpa menyerah. Dengan
secarik kertas, berbait-bait kalimat ku ucapkan perlahan ...
“Ini bukan tentang
aku, dan ini bukan lagi tentang kamu Lintang, tapi ini tentang kita, aku tak
mau yang lain, yang ku mau hanya satu hal, satu hal yang mewakili semua tentang
kita, aku hanya butuh Lintang, dan Lintang hanya boleh butuh aku...”
“Lintang, marry me
...”
Lintang memerah.
Banyak orang tengah menatap kami. Lalu sebutir air mata melompat dari sudut
matanya sebelah kiri. Lalu sebelah kanan. Dua butir, tiga butir air mata
mengarahkan Lintang untuk mengangguk. Segera, tanpa sempat ku sadari, Lintang
menghambur dalam pelukku. Butiran ait matanya jatuh membasahi kaos Vespa yang
di wariskannya padaku.
Lintang, berjanjilah ini adalah terakhir kali kau
meneteskan air mata di hadapanku, karena aku telah berjanji untuk tak membuatku
menangis, berjanjilah jika kau ingin menangis kau hanya akan menangis
bersamaku, kita akan menangis bersama, menangisi sunset yang menghilang di
langit malam ...