Senin, 07 Desember 2015

tahun ketiga

Tiga tahun sudah. Yah tiga tahun. Siapa yang mengira jika detak jantung ini masih meneriakkan namamu. Siapa sangka perasaan sekecil itu tak kunjung mati hingga saat ini. Akupun tak tahu. Tak ada sedikitpun niat untuk memeliharanya hingga detik ini. Tiga tahun sudah. Dan memang benar, waktu tak memakan apapun tentang kita. Tentang alur yang mempertemukan kita. Tentang peristiwa yang mengikat kita. Tentang waktu yang menghimpit kita. Tentang pesan-pesan - yang melayang dalam gelombang elektromagnetik - yang mengurung kita. Tentang alasan-alasan konyol yang memberi kita spasi. Tiga tahun sudah. Kalikan tiga puluh enam bulan. Kalikan tiga puluh hari. Kalikan dua puluh empat jam. Kalikan enam puluh menit. Kalikan enam puluh detik. Dan kalikan lagi enam puluh. Niscaya kau kan dapatkan angka ini, 16.796.160.000. Angka milyaran tadi adalah bukti betapa banyaknya milisekon yang ku lalui sejak pertama kali kita jatuh cinta. Bayangkan betapa fantastisnya angka tadi jika harus ku masukkan dalam skala nano. Dan akan ku pastikan kau terus ada di dalam nanodetik itu, ke dalam, ke dalam dan ke dalam lagi. Sudah empat hari sejak anniversary tiga tahun kita. Lucu memang jika hanya aku yang merayakannya. Tanpa sepotong kue. Tanpa sebuah lilin. Tanpa sebuah ucapan hangat darimu atau teman-teman kita. Namun ku pastikan, selalu ada doa dalam setiap annyversarry kita. Sudah empat hari. Dan mari kita hitung. Empat hari kalikan dua puluh empat jam. Kalikan enam puluh menit. Kalikan enam puluh detik. Kalikan lagi enam puluh. Hasilnya 20.736.000. dan bertambahlah lagi milisekon dalam rekening waktuku. Andai saja angka milyaran itu dibumbuhi rupiah di belakangnya, atau mungkin dollar, niscaya aku sudah menjadi jutawan sekarang. Namun kau lebih berharga dari perhitungan materi. Tak yen atau ringgit atau rupee atau mata uang lainnya yang bisa membelimu dariku. Aku tengah menginvestasi waktu. Mencicil rasa rindu sedikit demi sedikit, sedetik demi sedetik agar kau tak merasa rindu ini picisan. Lalu ku kirimkan lagi berbait-bait doa lewat doa alam Shubuh. Jika kau bertanya seperti apa sosokmu dalam hidupku, maka dengarkan ini baik-baik. Kau adalah peta. Kau adalah kompas. Kau adalah bintang utara. Kau adalah mercusuar. Kau adalah penunjuk arah. Kau adalah gabungan semua hal yang mampu menarikku dari ketersesatan hati. Tiga tahun sudah dan aku masih terus tersenyum kala mengingat kita di waktu-waktu yang telah usang. Ada sebuah kebetulan yang membawaku berjumpa denganmu. Bagaimana ku tahu namamu belum terlupa. Bagaimana ku tahu usiamu belum terlupa. Bagaimana kau mendetakkan jantungku belum terlupa. Bagaimana kita bersama belum terlupa. Bagaimana kita pergi dari kebersamaan kita belum terlupa. Jadi apa yang terlupa ? Percayalah. Hingga kini lupapun tak mampu membuatku lupa. Untukmu yang pernah menjangkitiku penyakit perasaan, bersediakah kau mendengar kisah kita lagi ? kan ku kemas dengan sebenar-benarnya dan tentu saja cerita ini bersudut pandang dariku. Jika kau tak setuju dengan alur ceritaku, maka aku akan teramat sangat senang jika bisa mendengar kisah kita dari sudut pandangmu. Lalu mari kita cocokkan kebenaran kisah itu. Jangan ada kebohongan di dalamnya. Jangan ada pembenaran di dalamnya. Jangan ada yang disembunyikan lagi. Kisah kita, nantinya akan jadi sebuah cerita pengantar tidur untuk anakmu, anakku atau mungkin saja – jika ternyata Tuhan memang menggariskan kita bersama nantinya – anak kita. Dan semoga, saat kisah itu dihaturkan, tak ada lagi hati yang teriris mendengarnya. Tak ada lagi air mata yang terdorong karenanya. Tak ada lagi senyuman pahit. Tak ada lagi ingatan yang pilu. Dan jika setelah tiga tahun ini masih ada lagi tiga tahun lainnya yang harus ku investasikan dalam waktu, aku tak akan mengeluh lagi. Biarkan tiga tahun ini mengajarkan kita, terlebihnya aku, bahwa cinta masih nyata. Bahwa cinta masih nyata dalam dunia kita. Dan aku percaya, tak ada yang namanya kebetulan. Untuk apa kita bertemu, lalu bersama, lalu berpisah, ada alasannya. Sambil menunggu alasan itu, marilah kita saling diam. Saling tak memperhatikan. Hingga Tuhan akhirnya menyuruh kita untuk saling melupakan …

Gomawo Mbata

Terima kasih, karena dulu kau pernah mementingkan tidurku. Kau suruh mereka diam agar aku tak bangun dari lelapku. Lalu kau duduk dekat kakiku seperti ingin menjagaku lebih dekat. Hingga aku mengikat hatiku atas namamu … Terima kasih, kala mereka memarahiku merokok, tanganmu justru menyodorkan aku sebatang rokok. Aku tak lupa kau tersenyum pula saat memberinya. Tak lagi aku merasa berbeda. Tak lagi aku merasa dikotakkan sebagai manusia. Kau tak masalahkan jalanku. Hingga aku memalingkan hatiku atas sosokmu … Terima kasih, kala umpatan dan makian keluar lancar dan begitu saja dari mulutku, kau tak keberatan sedikitpun. Kala mereka menggelengkan kepala, kau justru menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sejak itu aku tak lagi takut jadi diriku. Aku tak perlu lagi mengubah arah hidupku. Hingga ku tetapkan hatiku atas arahmu … Terima kasih, meski hanya sebuah Lolipop yang kau sodorkan dulu, bagiku itu adalah hal termanis yang pernah dibuat seseorang untukku. Aku tak peduli itu hanya kebetulan atau memang kau tahu rasa apa yang ku suka. Lollipop itu adalah lollipop termanis untukku. Rasanya aku tak ingin melumatnya, ku simpan sebagai kenangan termanis semanis lollipop darimu. Tapi maaf, aku tak sanggup menahan nafsu untuk menghabiskannya … Terima kasih, kau masih menggenggamku meski kita ada dalam cibiran mereka. Kau tak melepasku meski kita hidup dalam semua sindiran mereka. Kau pertahankanku meski kita harus tak pedulikan mereka. Bagimu, kita dan perasaan kita yang lebih penting dari mereka. Biarlah mereka menghakimi kita, biarlah mereka ludahi ikatan kita. Mereka tak pernah tahu bahwa semua yang kita lewati sesulit apa … Terima kasih, kau mau terima semua ketidakwarasan ini. Aku yang ceria bisa saja tiba-tiba berhamburan air mata. Aku yang bahagia bisa saja tiba-tiba marah-marah tak beralasan. Aku masih kekanak-kanakan memang. Aku selalu berkhayal. Aku punya halusinasi. Aku punya dunia sendiri, dunia yang ku bangun dengan semua mimpi. Aku bahkan sering bicara dengan benda mati. Aku selalu bersimpati pada benda mati. Dengan semua kegilaan itu kau malah tak peduli … Terima kasih …

Seperti nyamuk

Ah perih, kau datang lagi di ujung malam ini. Seperti seekor nyamuk yang menggigitku tadi. Tanpa alasan, kau rusak suasana. Kau hadir kala ku ingin berdosa. Kau larikan ku jauh ke masa-masa usang. Di mana kau menungguku sambil melipat tangan di dada. Ah perih, nyanyianmu seperti nyanyian seekor nyamuk tadi, yang beterbangan di sekitar telingaku, membawa ancaman rasa gatal akibat liurmu. Ku terancam, sungguh. Hingga ancaman itu memaksa beberapa tetes air mata saling mendorong dan terjatuh. Ah perih, gigitanmu sama seperti gigitan nyamuk tadi. Begitu menusuk dan gatal. Menembus pori-pori ingatan. Menghempasku jauh, jauh ke masa lalu. Ingatan-ingatan gatal yang membengkakkan serta mengupas kulit. Ah perih, kau datang lagi. Di ujung malam yang ingin ku lewati tanpamu.

Manusia Tak Berempedu

Wahai kau manusia tak berempedu … Di situ saja. Kita begini saja. Tak apa. Takkan bosan aku memperhatikanmu dari dekat bahkan kejauhan. Takkan bosan aku menyimak semua yg terjadi pada hidupmu karena memang peduli itu masih ada. Takkan bosan ku mendoakan yang terbaik untukmu karena memang aku mulai menyerah. Lalu jadikan aku sebagai pelajaran. Lalu seharusnya kau belajar dari kesakitan kita. Lalu biarlah kita kembali seperti awal-awal pertama bertemu. Saling kenal dan bertukar cerita tanpa sebuah ikatan. Wahai kau manusia tak berempedu … ijinkan aku mengemas kisah kita dalam tulisan ini. Bagaimana kita berawal, lalu bersama, lalu berpisah untuk pertama kalinya, lalu bersama lagi, lalu berpisah lagi, bersama lagi, berpisah lagi, bersama lagi, berpisah lagi, bersama lagi dan akhirnya berpisah serta seperti telah bersama lagi padahal tidak sama sekali.

LOST PASSION

Seketika semuanya jadi tak sama lagi. Bahkan angin tak mampu membawa sejukku kembali. Bagaimana caranya tertawa aku lupa. Ini lebih dari sekedar hampa. Ini lebih dari sekedar monoton dan monochrome. Apa kau tahu aku tiba-tba lenyap. Langkahku tak terdengar meski tengah berlari. Gigi-gigi yang gemeretuk menahan dingin. Kuduk yang merinding sedenting jam dinding. Aku mengelabuimu. Aku pandai menipu orang. Ada apa sebenarnya. Tak ada salju di sini, di sekitar kita. Tak ada bongkahan es yang membuat kita saling dingin. Ah pekat, arahku dan arahmu menghitam dalam jala laba-laba. Tak juga kau temukan kompas. Tak juga ku temukan peta. Kita seperti orang linglung yang ingin tersesat. Menjauh dari hingar-bingar yang pengap melekat. Saling menabrakan kaki. Berlindung kita pada kehangatan ujung jari. Kau tak menggigil namun bibirmu kelu dan biru. Kau tersenyum aneh sebagaimana anak-anak yang meminum tinta dari botol. Ah sudahlah. Aku saja yang terlalu konyol. Terlalu peduli pada semua hal yang membayang-bayangi kita. Peduli pada angin yang bisa saja menyilet kulit. Pada titik-titik uap air yang mungkin saja menikam pori-pori kita. Aku begitu pedulikan segala. Segalanya. Karena aku takut. Segalanya itu akan mengakhiri kita.

Apa Kabar Arch //

Apa kabar Arch ? Sekian menit tak jumpa. Adakah yang berubah dari kita ? Ku harap ada, agar jalan kita makin berwarna. Hingga warna-warna itu menuntun kita ke dunia penuh estetika persahabatan. Kita bersorak kegirangan, berlompatan penuh hysteria. Apa kabar Arch ? Masihkah tawa kita berkibar di geteru ? Masihkah rindu kita menggebu di basecamp ? Masihkah kita arungi jalanan malam demi tuntutan perut kita yang kelaparan setelah seharian berkutat dengan tugas berlembar-lembar dan semangat yang berkoar-koar ? Lalu segelitik bahagia tersungging di wajah kita. Apa kabar Arch ? Aku merindukan kalian. Sungguh. Lalu ingatanku berlari ke cerita-cerita kita dulu. Cerita kala kita berlarian di bawah gerimis, kala semua keinginan kita lukis, kala tugas membuat kita meringis, kala nilai keluar membuat kita bahagia dan histeris, kala mengejar dosen membuat kita layaknya pengemis. Aku ingat dan aku rindu cerita itu. Arch, bisakah terulang semua kisah kita ? Kalian – hanya beberapa orang saja – yang menyusup masuk ke dalam studio akhir, namun membuatku seperti akan kehilangan. Sebagaimana basecamp, berbelas-belas alat tulis dan alat gambar, laptop dan mouse, Autocad dan Sketchup serta mimpi-mimpi kita, akupun ingin kembali ke masa itu, masa kita yang cerlang. Arch, semoga mimpi selalu beriringan dengan takdir kita, I miss all of you hehehe … 2014 ..

Kamis, 30 Januari 2014

Aku Tak Benar-Benar Kuat

Tumpukan garis dilembayung senja itulah yang membuatku sadar, “Aku tak benar-benar kuat”. Aku hanyalah gerimis yang ingin membasahi tanah di musim kemarau. Aku hanyalah embun yang bermimpi menjadi hujan. Aku hanyalah hembusan nafas yang berharap menjadi Topan. Aku hanyalah setitik air mata yang berandai menjadi banjir bandang. Begitulah aku, yang terlanjur mampu menginginkan sesuatu. Hingga lupa bahwa sesungguhnya aku tak sanggup ..