Sabtu, 07 Desember 2013

CERPEN : Tentang Lintang



Ada yang aneh darinya. Bukan karena rambut sebahu yang selalu dia kuncir satu kemanapun dia pergi. Lebih sederhana dan gak repotin, jawabnya ketika ku tanya. Bukan karena kaos hitam tua bergambar Vespa yang selalu di pakainya. Nyaman aja, kaosnya gak bikin gerah, jawabnya  ketika ku tanya. Bukan karena celana jeans yang juga sudah terlanjur tua yang selalu dipakainya. Suka aja, aku merasa jadi gembel hahaha, jawabnya ketika ku tanya. Bukan karena sepatu jeleknya. Bukan karena cara ia menjalani hidup dengan santai. Bukan karena cara bicaranya yang spontanitas. Bukan karena semua itu. Bagiku tetap saja ada yang aneh darinya.
***
Namanya Lintang. Aku bertemu dengannya saat pertama kali menginjak bangku kuliah. Lintang kebetulan adalah teman sekelasku hingga kini. Aku masih ingat kalimat pertama yang Lintang ucapkan saat melihatku tengah mencatat di kelas.
“Wow... kamu Kidal ya... ih keren banget deh, pokoknya mega giga tera keren deh, aku sampai sekarang masih terobsesi pengen jadi kidal, tapi gak pernah berhasil, ah beruntungnya aku bisa ketemu orang-orang kidal seperti kamu, mulai sekarang sahabatan yuk”
Lintang memang berbeda, atau aneh. Aku tak pernah mengerti dengannya. Tapi anehnya sejak saat itu kami memang mulai sahabatan.
Semakin lama aku semakin mengaguminya. Lintang begitu apa adanya. Dia punya jutaan uang di rekening, tapi hanya membeli satu kaos dan satu jeans dalam 3-4 bulan sekali. Dia punya jutaan uang di dompet tapi makan dipinggiran jalan dengan alasan lebih enak dan lebih murah. Dia lahir dari keluarga kaya tapi liburan hanya ke pantai atau tempat wisata yang gratis. Aku tak mengerti mengapa dia memilih kehidupan yang ekstrim seperti itu.
“Lintang, kaos udah tua gitu kok masih di pake...”
“Lintang, kok kamu lebih suka makan dipinggir jalan sih...”
“Lintang, kamu kan punya uang, banyak lagi, kenapa gak beli jeans yang baru, kamu gak kasian sama jeans kamu satu-satunya itu, udah tua pantas dibuang...”
Tapi dialah Lintang. Manusia yang kesederhanaannya sangat ekstrim. Berulang kali ku ajak dia ke Mall, ke Toko Pakaian, ke Distro, ke Boutiq atau sekedar mengintip Online Shop, agar kaos Vespa tuanya dan satu-satunya jeans kepunyaan itu bisa hilang dari pandanganku. Begitu pula dengan sepatu jelek dan ransel kumal miliknya. Ku bayangkan suatu hari kami tengah makan di salah satu Caffe mewah langgananku. Lintang memakai kaos keren harga selangit dan hanya ada satu di dunia ini. Lintang memakai jeans mahal dengan model terbaru saat ini. Semua yang dipakai Lintang adalah hal-hal yang mentereng.
Tapi semua itu hanya sebatas cakrawala bayanganku saja. Karena dia adalah Lintang. Punya beribu alasan untuk menolak hal-hal mentereng itu. Sakit perutlah, keseleolah, gak punya waktu belanjalah dan masih banyak lagi alasan yang membuatku kesal.
Lalu suatu hari aku menyerah. Aku merasa tak sanggup lagi berteman dengan orang seperti dia. Kami berbeda dalam banyak hal. Bagiku, kaos vespa tuanya tak pantas seiring dengan kaos-kaosku yang bermerek luar negeri, jeans lunturnya tak pantas sejalan dengan jeansku model terkini dengan harga menjulang. Apapun yang menempel di tubuh Lintang, barang-barang yang tak jelas asal-usulnya sangat tak bisa ditoleransi lagi jika harus berdekatan dengan semua barang-barang mewah yang menempel di tubuhku. Ku putuskan menyerah dalam pertemanan ini. Dia, Lintang, bukan lagi seseorang untukku.
Aku bermaksud menjauhinya sejak saat itu. Aku telah bertekad tak akan lagi menegurnya jika berpapasan. Senyumku untuknya telah berhenti. Tapi takdir berkata lain. Sebelum aku menjauh dari kehidupannya, Lintang telah lebih dulu menghilang dari kehidupanku.
Aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Hampir semua orang menanyakan keberadaan Lintang padaku. Sudah tiga hari dia hilang tanpa jejak. Tak ada yang tahu. Akupun tak tahu harus bertanya pada siapa tentang Lintang.
Aku memang berteman dengannya selama hampir enam bulan ini. Kami makan, jalan dan nongkrong bersama di tempat yang sangat tidak mungkin aku datangi jika bukan karena Lintang. Kami tertawa, menangis, senyum dan marah di situasi yang sangat tidak mungkin aku lakukan jika bukan karena Lintang. Tapi itu hanya sebatas kedekatan yang bisa Lintang berikan. Aku tak tahu apapun tentang keluarganya selain dia lahir dari keluarga kaya. Tak pernah dia memberitahu tentang siapa kakak atau adiknya, siapa tante atau omnya. Lintang jarang bicara tentang keluarganya. Lintang hanyalah Lintang. Hanya Lintang seorang.
Kamu dimana Lintang, jeritku pada langit malam. Aku merasa merindukan teman anehku itu. Rindu yang begitu menggebu dan membiru. Lima hari tanpa Lintang begitu lain. Tak ada lagi sosok yang membuatku tertawa dengan cerita lucunya meskipun tengah mengikuti kuliah dari dosen menakutkan. Tak ada lagi sosok yang bisa ku lihat terharu sampai meneteskan air mata hanya karena menikmati sunset dengan sepenuh hati. Tak ada lagi sosok yang menatapku penuh kekaguman saat aku tengah mencatat dengan tangan kiriku. Tak ada lagi sosok yang suka menutup mataku dari belakang, mencubit pipiku sampai aku keluar air mata, menyembunyikan handphoneku, dan semua hal-hal kecil lainnya.
Seharusnya aku yang menjauhimu Lintang, karena aku tak akan selemah ini jika aku yang pertama pergi, tapi kamu malah menghilang lebih dulu tanpa alasan, dan aku telah selemah ini, sebenarnya aku tahu sejak dulu kalau kamulah kekuatanku, kembali Lintang, aku masih harus pergi meninggalkanmu, agar bisa ku lihat bagaimana keadaanmu tanpa aku, karena mungkin saja kau juga akan selemah ini
***
Aku bergegas ke Rumah Sakit. Barusan Lintang menelfonku dan menyuruhku menemuinya. Aku gak punya banyak waktu, bergegaslah, ucapnya lirih. Pandanganku kabur. Beberapa kali ku tabrak orang di depanku. Entah ada berapa tetes air mata yang menghalangi pandanganku. Yang pasti, tangisku pecah kala melihat Lintang terbaring lemah di ranjang. Tangan kanannya dipasangi selang infus. Ketika melihatku, dia berusaha tersenyum. Senyum yang sangat kontras dengan wajah pucatnya.
Lintang mengisyaratkan agar aku mendekatinya. Aku melangkah dengan sangat pelan sambil menghapus tetes-tetes air mata yang tak mau berhenti sejak tadi. bibirku bergetar seperti tengah mengucapkan sesuatu. Kalau saja Lintang bisa mendengarnya. Lintang, kamu kenapa, ucapku. Tapi bahkan aku sendiri tak mampu tuk mendengarnya. Karena yang terdengar hanyalah isakan tangis. Di tangan kiri Lintang, tangan yang selalu ku kagumi, tengah memegang kaus Vespa tuanya. Saat aku mulai mendekat, Lintang menjulurkan kaos itu padaku. Pake ini saat kamu wisuda nanti ya, ucap Lintang. Lalu beberapa detik kemudian Lintang memejamkan matanya.
Kaos Vespa tua itu ku genggam erat. Untuk pertama kalinya aku tak bisa membenci barang itu. Tua, lusuh, kusam, dekil, dan usang sangat tak pantas berada  sangat dekat dengan pakaian bermerek. Tapi aku tak pernah peduli lagi. Karena barang jelek itu adalah tempat jatuhnya semua air mataku kala itu. Benda jelek itu satu-satunya yang ku miliki untuk mewakili semua hal tentang Lintang.
***
2 tahun kemudian ...
Semua mahasiswa yang di wisuda tengah berbahagia. Dengan balutan jas atau kebaya, sepatu mengkilat atau high heels, masing-masing tengah berkerumun dengan teman atau keluarganya.
Aku berbeda. Sesaat aku merasa ada yang aneh tentang diriku. Sendirian duduk sambil sesekali tersenyum pada orang-orang yang lewat di depanku. Orang tuaku yang di luar negeri tak tahu aku di wisuda hari ini. Aku sengaja mempercepat kuliahku, yang seharusnya enam semester, ku jadikan lima semester. Bukan karena sok pintar atau sok rajin. Hanya saja aku tak sabar mengenakan benda jelek dari Lintang.
Aku tak mau berfoto dengan mengenakan toga dan segala tetek bengeknya. Setelah acara wisuda, aku bergegas ke kamar mandi, mengganti semua hal tentangku dengan semua hal tentang Lintang. Sepatu jelek, jeans luntur, kaos Vespa tua warisan Lintang adalah sisi diriku yang lain. Benar kata Lintang, semua hal tentangnya begitu nyaman dikenakan. Ah Lintang seharusnya kamu ada di sini, batinku.
Tanpa sadar, sebuah sosok mendekatiku. Sosok yang pernah membuatku rindu. Sosok yang membuatku cengeng karena menyangka dia tengah sakit keras, padahal hanya menderita diare. Sosok yang membuatku mengira dia meninggal di depanku dengan tenang, padahal dia hanya mengantuk lau tertidur. Sosok yang membuatku tak bisa membencinya bahkan dengan segala hal yang ditimbulkannya.
Di sana, tengah berjalan menghampiriku, dengan kaos Vespa yang mulai usang, jeans yang modelnya hampir punah, semua kejelekan yang dulu begitu ku benci, sosok Lintang tersenyum bangga. Tentu saja, Lintang pasti tengah berbahagia, karena telah berhasil merusak semua kemewahan yang ku persiapkan untuk acara wisudaku dan wisudanya. Semua hancur tapi begitu membahagiakan. Semua hal tentangku tak lagi terlihat. Aku dan Lintang adalah semua hal tentang Lintang.
Ketika Lintang berada di depanku, aku memberanikan diri untuk mengatakan satu hal padanya. Satu hal yang ku karang selama empat hari empat malam tanpa menyerah. Dengan secarik kertas, berbait-bait kalimat ku ucapkan perlahan ...
“Ini bukan tentang aku, dan ini bukan lagi tentang kamu Lintang, tapi ini tentang kita, aku tak mau yang lain, yang ku mau hanya satu hal, satu hal yang mewakili semua tentang kita, aku hanya butuh Lintang, dan Lintang hanya boleh butuh aku...”
“Lintang, marry me ...”
Lintang memerah. Banyak orang tengah menatap kami. Lalu sebutir air mata melompat dari sudut matanya sebelah kiri. Lalu sebelah kanan. Dua butir, tiga butir air mata mengarahkan Lintang untuk mengangguk. Segera, tanpa sempat ku sadari, Lintang menghambur dalam pelukku. Butiran ait matanya jatuh membasahi kaos Vespa yang di wariskannya padaku.
Lintang, berjanjilah ini adalah terakhir kali kau meneteskan air mata di hadapanku, karena aku telah berjanji untuk tak membuatku menangis, berjanjilah jika kau ingin menangis kau hanya akan menangis bersamaku, kita akan menangis bersama, menangisi sunset yang menghilang di langit malam ...

Tidak ada komentar: